Minggu, 29 Januari 2012

cara mengatasi emosi menurut islam

Rasulullah saw, berwasiat kepada kita agar tidak emosi / tidak suka marah dalam menghadapi masalah. UNTUK MENGATASI EMOSI/MARAH, RASULULLAH MEMBIMBING KITA AGAR  BERWUDU’, BERDOA MOHON KEPADA ALLAH AGAR DIJAUHKAN DARI GODAAN SETAN. JIKA DALAM KEADAAN BERDIRI, HENDAKLAH DUDUK, JIKA TIDAK HILANG JUGA, MAKA HENDAKLAH IA BERBARING.

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ - فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ. (رواه البخاري : 5651 – صحيح البخاري - بَاب الْحَذَرِ مِنْ الْغَضَبِ- الجزء : 19 – صفحة : 74)
Dari Abu Hurairah ra, berkata : ADA SEORANG LELAKI BERKATA KEPADA NABI SAW : BERIKANLAH WASIAT KEPADAKU! BELIAU BERSABDA : JANGLAH ENGKAU EMOSI/MARAH. LAKI-LAKI ITU MENGULANGI KATA- KATANYA. BELIAU TETAP BERSABDA : JANGLAH ENGKAU EMOSI/MARAH. (HR.Bukhari)

 حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو وَائِلٍ الْقَاصُّ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُرْوَةَ بْنِ مُحَمَّدٍ السَّعْدِيِّ فَكَلَّمَهُ رَجُلٌ فَأَغْضَبَهُ فَقَامَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ رَجَعَ وَقَدْ تَوَضَّأَ فَقَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَطِيَّةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ. . (رواه ابو داود : 4152 – سنن ابو داود -بَاب مَا يُقَالُ عِنْدَ الْغَضَبِ- الجزء : 12 – صفحة : 403)
Abu Wail Al-Qash ia berkata : Kami masuk menemui Urwah bin Muhammad Assa’dy, lalu ada seorang laki-laki berbicara dengannya hingga membuatnya marah. Lantas ia berdiri berwudu’, dan kembali lagi dalam keadaan telah berwudu’. Setelahn itu ia berkata : Ayahku telah menceritakan kepadaku, dari kakeku, ‘Athiyyah, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : SESUNGGUHNYA MARAH ITU DARI SETAN, DAN SETAN DICIPTAKAN DARI API, DAN API DAPAT DIPADAMKAN DENGAN AIR. MAKA APABILA SALAH SEORANG DARI KALIAN MARAH, MAKA HENDAKLAH BERWUDU’. (HR.Abu Dawud)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِي حَرْبِ بْنِ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.(رواه ابو داود : 4151 -سنن ابو داود -بَاب مَا يُقَالُ عِنْدَ الْغَضَبِ- الجزء : 12 – صفحة : 502)
Dari Abu Dzar, ia berkata : Bahwa Rasululllah saw bersabda kepada kami : APABILA SALAH SEORANG KALIAN MARAH/EMOSI DAN IA DALAM KEADAAN BERDIRI, HENDAKLAH IA DUDUK, JIKA MARAHNYA HILANG (MAKA ITU YANG DIKEHENDAKI), JIKA TIDAK (HILANG JUGA), MAKA HENDAKLAH IA BERBARING. (HR. Abu Dawud)

حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا غَضَبًا شَدِيدًا حَتَّى خُيِّلَ إِلَيَّ أَنَّ أَنْفَهُ يَتَمَزَّعُ مِنْ شِدَّةِ غَضَبِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُهُ مِنْ الْغَضَبِ فَقَالَ مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ قَالَ فَجَعَلَ مُعَاذٌ يَأْمُرُهُ فَأَبَى وَمَحِكَ وَجَعَلَ يَزْدَادُ غَضَبًا.(رواه ابو داود : 4149 -سنن ابو داود -بَاب مَا يُقَالُ عِنْدَ الْغَضَبِ- الجزء : 12 – صفحة : 400)
Dari Mu’adz bin Jabal ia berkata : Ada dua orang laki-laki saling mencela di sisi Nabi saw. Salah seorang dari mereka sangat marah hingga aku berfikir hidungnya pecah karena marahnya yang memuncak. Nabi saw bersabda : Sungguh aku benar-benar tahu sebuah kalimat yang jika dibaca oleh seseorang maka akan hilang kemarahan yang dirasakan. Beliau membaca kalimat itu : “ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MINASY SYAITHAANIR RAJIIM” (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-MU dari godaan setan yangt terkutuk) – Perawi berkata : Mu’adz lantas menyuruh laki-laki itu untuk membaca kalimat tersebut, tetapi ia enggan (tidak mau membacanya), justru bertambahlah marahnya. (HR.Abu Dauwud)
Ya Allah, lapangkan dada kami, tenangkan jiwa kami dan bahagiakan hidup kami. Aamiin.
http://www.facebook.com/notes/sirajuddin-syamsul-arifin/emosi-dan-cara-mengatasinya/10150472438636640 

nasakh dan mansukh

PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosiokultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”. Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh.



1.        Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa (lugah) naskh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan[1], misalnya dalam kalimat:
نَسَخَتْ الرِّيَاحُ أَثَارَ الْقَوْمِ
Artinya: “Angin telah menghapus jejak suatu kaum”
Sedangkan definisi nasakh menurut ulama ushul fiqih, yang masyhur ada dua yaitu:
بَيَانُ انْتِهَاءِ اَمَدِّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقٍ شَرْعِيٍّ مُتُرَاخٍ عَنْهُ
Artinya: “Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil Syar’i; yang datang kemudian.”
رَفْعِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَنِ الْمُكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِّرٍ
Artinya: “Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.”
Sedangkan secara etimologis kata nasakh (النسخ) dalam bahasa arab digunakan dengan arti الارلة, artinya menghilangkan atau meniadakan contohnya:نسخت الشمس الظل (matahari menghilangkan kegelapan) atau نسخت الرياح اثار المشي (angin melenyapkan jejak kaki).
Terkadang kata itu digunakan dengan arti النقل yaitu pemindahan atau mengalihkan sesuatu. Menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain disamping masih tetapnya bentuk semula.[2]
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
a.     Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan RasulNya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b.    Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c.     Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.

2.        Rukun Nasakh
Rukun nasakh itu ada empat[3], yaitu:
a.    Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.    Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Ta’ala, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapuskannya.
c.    Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d.   Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

3.        Syarat-Syarat Nasakh
Sebagaiman telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.[4]
Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
a.    Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b.    Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c.    Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d.   Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a.    Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu baik.
b.    Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c.    Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.
d.   Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis mutawatir dengan hadis ahad.

4.        Macam-Macam Nasakh
Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaranya:
a.    Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.[5]
b.    Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.
c.    Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perampuan yang telah menikah.
d.   Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang akan berbicara kepada Nabi.
e.    Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan 10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari A’isyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
f.     Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.

5.        Pembagian Nasakh
Nasakh dapat dibagi menjadi:
a.    Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur.
Dalam undang-undang modern banyak juga terjadi, misalnya suatu undang-undang ditegaskan berlakunya untuk mengakhiri berlakunya undang-undang terdahulu yang sama materinya.
b.    Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing, misalnya suatu nash positif dan yang lain negatif, sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat pada ahli waris dinasakh oleh ayat mewaris.
Nasakh zimmi ini terbagi dalam:
1)        Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.
2)        Nasakh juz’i, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang dicakup oleh nash kedua. Contohnya ayat had qadzab dengan ayat li’an karena dalam ayat qadzab dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam umum ayat qadzab.
Memberikan nama nasakh terhadap bagian nasakh juz’i adalah melihat nashnya. Karena sebenarnya pada fuqaha mengakui khas yang bersamaan dengan ’am sebagai takhsis bukan sebagai nasakh, tanpa memperhatikan mana diantaranya terdahulu dan terkemudian. Golongan Hanafiyah mengakui khas yang turun kemudian sebagaimana yang menasakhkan terhadap ‘am yang turun terdahulu. Dalam kasus ini, ayat qadzab dan ayat li’an turun serentak, sehingga menunjukkan takhsis sebagai gantinya nasakh.[6]

6.        Cara mengetahui Nasikh-Mansukh
Berlakunya hukum syara’ baik dalam bentuk al-qur’an maupun hadis nabi adalah secara pasti. Karenanya wajib kita menaatinya. Nasakh terhadap hukum syara’ berarti bahwa kita sudah tidak wajib lagi menaati hukum itu karena sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pernyataan tersebut adalah suatu pengingkaran yang berdosa kecuali bila didasarkan kepada petunjuk pasti yang menyatakan bahwa hukum yang lalu itu betul-betul sudah dicabut atau dinasakh, karena suatu yang telah diyakini tidak dapat dibatalkan dengan zhan (dugaan-dugaan yang kuat) semata.
Petunjuk yang meyakinkan tentang nasikh mansukh[7] adalah sebagai berikut:
a.    Nash yang secara lahirnya menunjukkan yang satu menjadi nasikh terhadap yang lain. Firman Allah dalam surat al-baqarah: 187:
 “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat tersebut berarti menasakh hukum sebelumnya tentang tidak bolehnya bersetubuh, makan dan minum di malam hari.
b.    Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Hal itu mendorong arti bahwa nasikhnya hukum ijma’ tetapi adalah nash juga, sedangkan ijma’ hanya memberi petunjuk mengenai nash mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
c.    Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda. Bila yang datang kemudian itu disebut nasikh dan yang terdahulu itu disebut mansukh.

7.        Hikmah Nasakh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disayariatkannya berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Berkaitan dengan itu, Syar’i (Allah SWT) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin.[8] Akan tetapi, tidak berarti bahwa Syar’i tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru disinilah kelebihan Islam, yakni menetapkan hukum secara berangsur-angsung. Oleh karena itu, persoalan nasakh itu hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, makna setelah Rasulullah itu wafat, tidak ada lagi nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.

KESIMPULAN

Dari segi bahasa (lugah) naskh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
a.       Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan RasulNya
b.      Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c.       Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Nasakh dapat dibagi menjadi:
a.       Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur, dan
b.      Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing.
Berkaitan dengan itu, hukum Syar’i senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin. Diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam penetapan hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1990
Amir Makfudin, Ushul Fiqih, Jakarta: logos wacana ilmu, 1997



[1] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 231
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hal. 21
[3] Rahmat Syafi’i, Op. Cit, hal. 231
[4] Ibid, hal. 236
[5] Ibid, hal. 239
[6] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1990)
[7] Amir Makfudin, ushul fiqih, (Jakarta: logos wacana ilmu, 1997), hal. 253-255
[8] Rahmat Syafi’i, Op. Cit, hal. 232