Minggu, 12 Juni 2011

keutamaan hari jum'at

Hari Jum’ at adalah hari yang paling utama dalam sepekan. Alloh Subhanahu wa Ta’ ala telah mengkhususkan untuk kaum muslimin yang belum pernah diberikan kepada ummat- ummat sebelumnya sebagai karunia dan pemuliaan terhadap ummat ini. Pada hari tersebut terdapat ibadah-ibadah yang khusus (yang paling agung adalah Shalat Jum’ at). Di bawah ini akan disampaikan dalil-dalil yang menyebutkan keutamaannya dan sunnah- sunnah serta kewajiban yang diperintahkan dalam rangka memuliakan hari Jum’ at. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘ anhu bahwa Rasululloh shalAllohu ‘ alaihi wa sallam mengatakan, yang artinya:
“Sebaik-baik hari yang terbit padanya matahari adalah hari Jum’ at. Pada hari itu diciptakan Adam ‘ alaihissalam, dimasukkan dan dikeluarkan dari surga pada hari itu dan kiamat akan terjadi pada hari Jum’ at pula.” (HR: Muslim, Abu Dawud, Annasa’ i, Tirmidzi dan dishahihkannya.
Lihat
Fiqhussunnah oleh Sayyid Sabiq bab Jum’ ah).
Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa ibadah khusus yang mulia pada hari Jum’ at adalah shalat Jum’ at. Barangsiapa yang meninggalkannya tanpa ada alasan syar’ i akan mendapatkan dosa besar adan akan diadzab dengan adzab yang pedih. Rasululloh shalAllohu ‘ alaihi wa sallam mengatakan tentang suatu kaum yang meninggalkan shalat Jum’ at, yang artinya: “Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahakan seorang laki-laki shalat bersama dengan manusia kemudian aku membakar rumah-rumah mereka yang tidak melakukan shalat Jum’ at.” (HR: Muslim, Ad Darimi dan Al Baihaqi).

Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Muhammad bin Abdurrahman bin Zahrah, aku mendengar pamanku berkata, Rasululloh shalAllohu ‘ alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa mendengan panggilan adzan pada hari Jum’ at dan tidak mendatanginya, kemudian
mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian mendengar dan tidak mendatanginya, kemudian
mendengar dan tidak mendatanginya, maka Alloh akan menutup hatinya dan menjadikan hatinya seperti hati orang munafik.” (HR: Al Baihaqi, Abu Ya’ la, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Mundzir, hadits ini dihasankan oleh Masyhur Hasan Salman dalam Al Qulul Mubin fii Akhtha’ il Mushollin).
Berikut ini beberapa hal yang disunnahkan berkenaan dengan keutamaan hari Jum’ at: 
  1. Disunnnahkan berdo’ a karena berdo’ a pada hari itu akan dikabulkan terutama pada waktu / saat mustajab (mudahj terkabul do’ a). Hal ini terdapat hadits bersumber dari Jabir bin Abdillah. Dari Jabir bin Abdillah dari Rasululloh shalallohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata, yang artinya: “Pada hari Jum’ at ada dua belas waktu. Tidak ditemukan seorang muslim yang sedang memohon sesuatu kepada Alloh ‘ Azza wa jalla kecuali pasti Dia memberinya. Maka carilah waktu itu, yaitu akhir waktu setelah ‘ Ashr.” (HR: Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, hadits 926 hal. 196) Do’ a yang paling disukai oleh Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam adalah meminta kebaikan di dunia dan akhirat dan meminta perlindungan dari neraka. Dalam suatu hadits disebutkan, yang artinya: “Barangsiapa yang meminta dimasukkan ke dalam surga, maka surga mengatakan: “Ya, Alloh, masukkan dia ke dalam surga”. Dan barangsiapa yang meminta perlindungan dari api neraka kepada Alloh subhanahu wata’ ala, maka neraka akan berkata: “Ya Alloh, lindungilah dia dari neraka.” (HR: Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 6151/, lihat Shifatun Naar fil Kitab was Sunnah oleh Mahmud bin Khalifah Al Jasim). 
  2. Disunnahkan memperbanyak bacaan shalawat Nabi. Aus bin Aus radliyAllohu ‘ anhu berkata bahwa Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam pernah bersabda, yang artinya: “Seutama-utama hari adalah hari Jum’ at. Padanya diciptakan dan dimatikannya Adam ‘ alaihissalam, ditiup sangkakala dan dibinasakannya manusia. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat atasku pada hari itu karena shalawatmu akan sampai kepadaku.” Para sahabat bertanya: ”Bagaimana bisa sampai kepadamu sedangkan jasadmu telah dimakan tanah?” Rasululloh berkata: ”Alloh subhanahu wa ta’ ala mengharamkan tanah untuk memakan jasad para Nabi.” (HR: Abu Dawud, Shahih, Lihat Shahih Sunan Abu Dawud hal. 196 hadits no. 925 oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani) 
  3. Disunnahkan membaca Surat Al Kahfi pada siang atau malam harinya (Lihat Al Adzkar oleh Imam AnNawawi). Seorang muslim yang menghafal sepuluh atau tiga ayat pertama dari surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Juga barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dan sepuluh ayat dari Surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal. Dalilnya adalah hadits dari Abu Darda’ radliyAllohu ‘ anhu dari Nabi shallAllohu alaihi wasallam berkata, yang artinya: “Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat pertama dari Surat Al Kahfi terjaga dari fitnah Dajjal.” (HR: Muslim, Abu Dawud, Nasa’ i dan Tirmidzi) . Pada lafadz Tirmidzi, yang artinya: “Barangsiapa menghafal tiga surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal .” Dia berkata: “Hadits Hasan”. Pada hadits yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Abu Darda’ radliyAllohu ‘ anhu bahwa Nabi shalAllohu ‘ alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al-Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal”. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Nasa’ i dari Qatadah radliyAllohu ‘ anhu. Dan pada lafadz Nasa’ i menyatakan, yang artinya: “Barangsiapa membaca sepuluh ayat (mana saja) dari surat Al Kahfi akan terjaga dari fitnah Dajjal.” Pada hadits yang marfu’ (sanadnya bersambung sampai Rasululloh, ed.) dari Ali bin Abi Thalib, yang artinya: “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’ at maka ia akan dijaga dari setiap fitnah sampai delapan hari walaupun Dajjal keluar ia akan tetap terjaga dari fitnahnya”. (Lihat tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kahfi). Disunnahkan pula membaca surat Alif Laam Miim tanziil– assajdah dan Hal ata ‘ alal insan pada shalat fajar (shubuh). Abu Hurairah radhiAllohu ‘ anhu mengatakan, yang artinya: Rasululloh shallAllohu alaihi wasallam membaca surat Alif Laam Miim tanziil assajdah dan Hal ata ‘ alal insan pada shalat subuh hari Jum’ at. (Muttafaq ‘ alaih) Menurut Thabrani dari Ibnu Mas’ ud bahwa Nabi terus- menerus membaca kedua surat tersebut. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas dan Abi Hurairah radliyAllohu’ anhum berkata bahwa Rasululloh shalAllohu ‘ alaihi wa sallam membaca Surat Al Jum’ ah dan Munafiqun pada hari Jum’ at. (HR: Muslim). Demikian pula Nabi membaca surat Sabbihisma dan Al Ghasyiah pada shalat Jum’ at. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al-A’ la dan Al Ghasyiah). 
Allohu Ta’ ala A’ lam. (Sumber Rujukan: Al Adzkar, Imam Nawawi tahqiq Abdul Qadir Al Arnauth; Fiqhussunnah, Sayyid Sabiq; Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani; Tamaamul Minnah, Muhammad Nashiruddin Al Albani; Ikhtishar Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi; Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir; Taisiirul ‘ Alllaam Syarhu ‘ Umdatul Ahkam, Abdullah bin Abdirrahman bin Shalih Al Bassam; Subulussalam, Imam Ash-Shan’ ani; Bulughul Maraam min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqalani; Zaadul Ma’ ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah; Al Qaulul Mubin fii Akhtha’ il Mushallin, Masyhur Hasan Salman; Shifatun Naar fil Kitab was Sunnah, Mahmud bin Khalifah Al Jasim; Shahih Sunan Abi Dawud, Muhammad Nashiruddin Al Albani)


Senin, 30 Mei 2011

nasakh dan mansukh dalam USHUL FIQH



PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosiokultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Betapa pentingnya menguasai ilmu Nasakh Mansukh dalam suatu Riwayat sahabat Ali ketika meliwati seorang hakim mengatakan “apakah engkau mengetahui nasakh” dan orang itu menjawab “tidak” maka Ali berkata “celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”. Dari riwayat tersebut dapat di pahami bahwa eksistensi Nasakh Mansukh dalam Istinbath Hukum adalah mutlak adanya, sebab dengan tidak memahaminya, hukum yang lahir akan jauh dari prinsip dasar pensyariatan (Maqosid al-Syar’i).
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh.



1.        Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa (lugah) naskh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan[1], misalnya dalam kalimat:
نَسَخَتْ الرِّيَاحُ أَثَارَ الْقَوْمِ
Artinya: “Angin telah menghapus jejak suatu kaum”
Sedangkan definisi nasakh menurut ulama ushul fiqih, yang masyhur ada dua yaitu:
بَيَانُ انْتِهَاءِ اَمَدِّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقٍ شَرْعِيٍّ مُتُرَاخٍ عَنْهُ
Artinya: “Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil Syar’i; yang datang kemudian.”
رَفْعِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَنِ الْمُكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِّرٍ
Artinya: “Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.”
Sedangkan secara etimologis kata nasakh (النسخ) dalam bahasa arab digunakan dengan arti الارلة, artinya menghilangkan atau meniadakan contohnya:نسخت الشمس الظل (matahari menghilangkan kegelapan) atau نسخت الرياح اثار المشي (angin melenyapkan jejak kaki).
Terkadang kata itu digunakan dengan arti النقل yaitu pemindahan atau mengalihkan sesuatu. Menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain disamping masih tetapnya bentuk semula.[2]
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
a.     Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan RasulNya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
b.    Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c.     Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.

2.        Rukun Nasakh
Rukun nasakh itu ada empat[3], yaitu:
a.    Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
b.    Nasikh, adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah Ta’ala, karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapuskannya.
c.    Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
d.   Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

3.        Syarat-Syarat Nasakh
Sebagaiman telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.[4]
Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
a.    Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b.    Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c.    Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d.   Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a.    Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu baik.
b.    Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c.    Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat al-baqarah, 2.
d.   Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak boleh yang kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis mutawatir dengan hadis ahad.

4.        Macam-Macam Nasakh
Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh, membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaranya:
a.    Nasakh yang tidak ada gantinya; seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan berbicara dengan Nabi.[5]
b.    Nasakh yang ada gantinya, namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat; seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.
c.    Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perampuan yang telah menikah.
d.   Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada, seperti nasakh terhadap keharusan memberikan sedekah bagi orang miskin bagi mereka yang akan berbicara kepada Nabi.
e.    Nasakh hukum dan bacaan sekaligus, seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan 10 kali. (HR. Bukhari dan Muslim dari A’isyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
f.     Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.

5.        Pembagian Nasakh
Nasakh dapat dibagi menjadi:
a.    Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur.
Dalam undang-undang modern banyak juga terjadi, misalnya suatu undang-undang ditegaskan berlakunya untuk mengakhiri berlakunya undang-undang terdahulu yang sama materinya.
b.    Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing, misalnya suatu nash positif dan yang lain negatif, sedang sejarah turunnya diketahui, seperti ayat wasiat pada ahli waris dinasakh oleh ayat mewaris.
Nasakh zimmi ini terbagi dalam:
1)        Nasakh terhadap suatu hukum yang dicakup oleh nash terdahulu.
2)        Nasakh juz’i, yaitu mengeluarkan dari keumuman nash terdahulu, apa yang dicakup oleh nash kedua. Contohnya ayat had qadzab dengan ayat li’an karena dalam ayat qadzab dijelaskan hukum qadzab suami terhadap istrinya sendiri yang termasuk dalam umum ayat qadzab.
Memberikan nama nasakh terhadap bagian nasakh juz’i adalah melihat nashnya. Karena sebenarnya pada fuqaha mengakui khas yang bersamaan dengan ’am sebagai takhsis bukan sebagai nasakh, tanpa memperhatikan mana diantaranya terdahulu dan terkemudian. Golongan Hanafiyah mengakui khas yang turun kemudian sebagaimana yang menasakhkan terhadap ‘am yang turun terdahulu. Dalam kasus ini, ayat qadzab dan ayat li’an turun serentak, sehingga menunjukkan takhsis sebagai gantinya nasakh.[6]

6.        Cara mengetahui Nasikh-Mansukh
Berlakunya hukum syara’ baik dalam bentuk al-qur’an maupun hadis nabi adalah secara pasti. Karenanya wajib kita menaatinya. Nasakh terhadap hukum syara’ berarti bahwa kita sudah tidak wajib lagi menaati hukum itu karena sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pernyataan tersebut adalah suatu pengingkaran yang berdosa kecuali bila didasarkan kepada petunjuk pasti yang menyatakan bahwa hukum yang lalu itu betul-betul sudah dicabut atau dinasakh, karena suatu yang telah diyakini tidak dapat dibatalkan dengan zhan (dugaan-dugaan yang kuat) semata.
Petunjuk yang meyakinkan tentang nasikh mansukh[7] adalah sebagai berikut:
a.    Nash yang secara lahirnya menunjukkan yang satu menjadi nasikh terhadap yang lain. Firman Allah dalam surat al-baqarah: 187:
 “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat tersebut berarti menasakh hukum sebelumnya tentang tidak bolehnya bersetubuh, makan dan minum di malam hari.
b.    Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu. Hal itu mendorong arti bahwa nasikhnya hukum ijma’ tetapi adalah nash juga, sedangkan ijma’ hanya memberi petunjuk mengenai nash mana yang nasikh dan mana yang mansukh.
c.    Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda. Bila yang datang kemudian itu disebut nasikh dan yang terdahulu itu disebut mansukh.

7.        Hikmah Nasakh
Telah disepakati oleh ulama ushul fiqih, bahwa disayariatkannya berbagai hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Berkaitan dengan itu, Syar’i (Allah SWT) senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin.[8] Akan tetapi, tidak berarti bahwa Syar’i tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru disinilah kelebihan Islam, yakni menetapkan hukum secara berangsur-angsung. Oleh karena itu, persoalan nasakh itu hanya berlaku pada masa Rasulullah masih hidup, makna setelah Rasulullah itu wafat, tidak ada lagi nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar’i maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.

KESIMPULAN

Dari segi bahasa (lugah) naskh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.
Para ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini:
a.       Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan RasulNya
b.      Yang batalnya adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c.       Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Nasakh dapat dibagi menjadi:
a.       Nasakh Sharih, yaitu yang ditegaskan berakhirnya hukum yang dinasakh, seperti hadis tentang ziarah kubur, dan
b.      Nasakh Zimmi, ialah nasakh antara dua nash yang berlawanan dan tak mungkin disesuaikan proporsinya masing-masing.
Berkaitan dengan itu, hukum Syar’i senantiasa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi yang ada dimasyarakat. Terjadinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin. Diantara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibelitas hukum Islam dan adannya tahapan dalam penetapan hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1990
Amir Makfudin, Ushul Fiqih, Jakarta: logos wacana ilmu, 1997



[1] Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 231
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), hal. 21
[3] Rahmat Syafi’i, Op. Cit, hal. 231
[4] Ibid, hal. 236
[5] Ibid, hal. 239
[6] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1990)
[7] Amir Makfudin, ushul fiqih, (Jakarta: logos wacana ilmu, 1997), hal. 253-255
[8] Rahmat Syafi’i, Op. Cit, hal. 232